Senin, 24 Juni 2013

[Cerpen Religi] Ayahku (bukan) Ustadz Badut

“Ayah lucu kayak badut!” ujar adikku yang terkecil.
Sakit hatiku mendengar kalimat itu meluncur deras dari bibir mungil adik bungsuku yang belum mengerti apa-apa.
“Bagaimana kalau kita panggil saja ustaz badut!” teriak salah seorang anak yang duduk di pojok.
Warga kampung lain yang berkumpul di ruangan sempit ini tertawa terbahak-bahak. Seperti itukah pandangan mereka terhadap ayahku? Aku malu. Harusnya ayah tak melakukan semua ini. Cukup jadi seperti ayah yang dulu, aku bahagia.
Aku meninggalkan para tetanggaku yang masih asyik menyaksikan tayangan siraman rohani di televisi. Televisi ini baru datang ke rumahku tadi siang. Orang yang mengantarkannya bilang televisi tersebut kiriman dari ayah di kota. Di kampung ini, televisi memang masih menjadi barang mewah. Orang yang memilikinya dapat di hitung dengan jari. Oleh karena itulah, setelah mengetahui ada TV di rumahku, para tetangga datang berbondong-bondong untuk menonton bersama.
Sejak ada TV, rumahku selalu ramai setiap malam karena para tetangga sangat senang menyaksikan ayah yang berceramah di TV. Namun di siang hari, rumahku kembali sepi. Aku membiarkan mereka begitu saja datang dan pergi sesuka hati mereka. Aku bahkan tidak peduli jika mereka ingin membawa TV itu pergi.

Aku bergeming dalam diamku. Sudah dua hari ini aku tidak keluar kamar kecuali untuk hal-hal penting saja. Setelah mendengar bahwa ia akan pulang aku jadi tidak berselera melakukan apa pun lagi. Untuk apa dia pulang? Umpatku dalam hati. Aku bahkan tak sudi untuk menyambutnya.
Semua orang sibuk menata rumah sedemikian rupa hanya untuk menyambut kedatangannya. Para tetangga seolah tak ada yang mau ketinggalan menyumbang jejak kaki mereka di rumah ini. Rumahku siang hari ini mendadak ramai seperti pasar tradisional yang baru buka.
Keesokan harinya, kampung ini benar-benar ramai, lebih ramai dari upacara penyambutan kepala desa yang baru menjabat bahkan dari acara pernikahan putri Pak Kades dulu. Ibu-ibu memakai kebaya terbaiknya yang di setrika licin. Para pria tampak gagah dengan batiknya dan rambut mengilap karena kelebihan olesan minyak jelantah. Aku sendiri tidak tahu sejak kapan bapak-bapak di kampung ini punya baju batik. Aku juga baru tahu bahwa para pemuda dan pemudi kampung ini juga bisa berdandan dengan rapi. Anak-anak kecil nampak riang berkejaran dengan kawan sepermainannya. Mereka berlari, berteriak dan menjerit bahkan ada yang menangis karena pakaian yang baru dibelikan ibunya kotor terinjak-injak anak lainnya. Pokoknya keceriaaan mereka hari ini melebihi susana gembira menyambut hari raya.
Kalian tahu siapa yang sedang mereka nanti-nantikan? Bukan sang presiden atau para menteri yang mereka tunggu-tunggu. Kalian tahu sendiri kan bahwa ini bukanlah masa-masa kampanye. Pemilihan umum masih jauh di depan mata. Jadi, tidak mungkin ada kunjungan semacam itu. Aku tidak yakin jika kalian akan percaya jika kuberitahu siapa yang sedang mereka tunggu. Aku juga sebenarnya malas untuk memberitahu kalian mengenai hal ini. Ayahku. Ya, mereka sedang menunggu si Ustaz Badut itu. Sekali lagi aku tegaskan bahwa mereka hanya menunggu seorang petani yang sedang naik daun karena dakwah guyonannya. Ah, memang apa gunanya?

Selepas upacara penyambutan dan ramah tamah dengan warga kampung, ayah masuk ke kamarku. Nampak kelelahan tergambar di antara kerutan-kerutan di keningnya. Tapi aku sudah tak peduli.
“Ri, kok orang-orang manggil ayahmu ini Ustaz Badut ya? Lucu sekali, ayah jadi ingin tertawa,” ujarnya memulai pembicaraan.
Entah sengaja atau ia memang benar-benar tidak tahu, ia sungguh membuka pembicaraan ini dengan kalimat yang salah. Ia menyebut dua kata itu: Ustaz Badut. Dua kata yang paling ku benci sebagaimana aku membenci orang yang mendapat julukan itu.
“Lucu? Tertawa saja jika itu memang lucu bagi ayah!” Teriakku sinis.
Ayahku nampak kaget dengan sikap ketusku. Ia terdiam. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menumpahkan semua kekesalanku.
“Kau bukan ayahku. Ayahku tidak seperti ini. Ayahku adalah lelaki sederhana yang selalu melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Ayahku adalah guru bagiku dan guru bagi semua anak kecil di kampung ini. Ayahku adalah yang mengajar alif ba ta dengan sabar tanpa pamrih. Ayahku adalah petani yang tak pernah mengeluh meski bekerja di bawah terik matahari. Ayahku tak pernah rela menjual agamanya demi uang. Dulu aku bangga dengan ayah, tapi sekarang? Hhh, aku kecewa,” ujarku sinis.
Ayahku tetap membisu. Rupanya ia masih menunggu kata-kata berikutnya dari mulutku. Ayah mengambil tempat di sisiku. Ia memandangiku cukup lama sebelum akhirnya berbicara.
“Ayah tahu, tak ada alasan kuat ayah membela diri. Tapi kau tahu kan masyarakat kita sudah bosan dengan ceramah yang disampaikan oleh para ustaz yang intelek dengan titel mereka yang macam-macam itu. Lihatlah tetangga kita! Kau tahu sendiri mereka mulai memilih-milih siapa yang menyampaikan ceramah saat ada rencana pengajian. Mereka akan mencari tahu dulu siapa yang akan memberikan ceramah. Jika penceramah adalah kiai atau ustaz yang serius, maka majlis akan kosong melompong. Sedangkan jika si ustaz itu menyampaikan ilmu agama sambil menyisipkan lelucon mereka akan lebih tertarik sekalipun ustaz itu hanyalah orang kampung seperti ayah.” Ujar ayah memberiku penjelasan.
Aku tetap tak bisa terima dengan alasan ayah tersebut. Bagaimana pun juga ayah telah membuatku malu dengan julukan sebagai anak dari Ustaz Badut.
“Oh, jadi ayah pikir mereka hanya akan mengaji jika para ustaz yang senang membuat guyonan seperti ayah yang mengajari mereka. Begitu? Ayah benar-benar telah berubah. Aku kecewa pada ayah!”
Sekali lagi kata ‘kecewa’ itu meluncur dari mulutku. Wajah ayahku tertunduk lemas. Desisan lemah dari bibir hitamnya terdengar samar. Aku benar-benar marah hingga tak bisa menahan emosi. Namun aku enggan mengakui bahwa kali ini aku benar-benar telah kelewatan.

Sudah seminggu ini ayah tinggal di rumah dan selama itu pula aku menahan mulutku untuk diam. Satu-satunya pembicaraanku dengannya hanya pada hari itu, dan saat itu pun aku tak bisa mengontrol kata-kataku. Lagipula aku pikir ayah lebih sibuk mengurusi tamu-tamunya. Bagaimana tidak sibuk? Sepanjang hari, siang dan malam, orang-orang terus berdatangan hanya untuk bertemu dengannya dan menyalami bahkan mencium tangan buruhnya yang kasar.
Sore ini ia akan kembali ke kota. Aku sangat bahagia mengetahui kabar tersebut. Di saat keberangkatannya, aku tidak berminat untuk mengantarnya meskipun hanya sampai pintu. Aku bersikap seolah-olah hal tersebut bukanlah hal yang penting. Bodo amat! Toh di luar sana sudah banyak orang yang mengantarkannya dan mengelu-elukan namanya. Aku hanya menatap kepergian lelaki itu, sang Ustaz Badut, dari balik jendela kamarku dengan senyuman sinis. Ku lihat ia merangkul adik-adikku yang asyik mengunyah gula-gula.
Selepas kepergiannya, aku keluar kamar untuk menyiapkan makan siang bagi adik-adiku. Di atas meja makan, aku melihat selembar kertas tergeletak. Ternyata sebuah surat. Untukku. Aku mengambilnya dan mulai membacanya.

Teruntuk anakku tercinta,
Maafkan ayah, Nak. Maaf karena ayah telah membuatmu kecewa. Ayah pikir semua yang ayah lakukan ini semua akan membuatmu bahagia dan bangga pada ayah. Percayalah, ayahmu ini tak pernah berniat menjual agamanya. Ayah masih seperti ayahmu yang dulu. Sekali lagi ayah mohon percayalah! Namun sungguh ayah tak bisa berhenti. Sekali lagi kau harus percaya, ini bukan karena harta maupun ketenaran. Ayah tak butuh ketenaran dan ayah juga selama ini telah memiliki harta yang paling berharga: kau dan adik-adikmu.
Ayah mengerti jika kau memang tak bisa menerima ayah seperti dulu lagi. Ayah tetap bangga memiliki anak sepertimu. Hari ini ayah pergi, karena ayah pikir ayah hanya akan membuatmu bersedih kecewa, dan marah jika ayah terus berada di sampingmu. Sejujurnya, berat bagi ayah untuk jauh dari kalian, kau dan adik-adikmu, apalagi saat ayah tahu bahwa apa yang ayah lakukan ini telah mengecewakanmu. Ingatlah, ayah akan pulang kapan pun kau butuh ayah.

Bodoh! Mengapa aku harus menyalahkan ayah dan membencinya? Siapa yang membuatnya menjadi seperti ini? Aku mulai tersadar akan awal mula dari semua ini.
Suatu malam ayah di undang oleh Pak Kades untuk menyampaikan ceramah dalam acara selamatan pernikahan putri sulungnya. Dulu aku sangat senang melihat ayah saat menyampaikan ceramah agama. Saat itu aku baru saja melihat tayangan seorang polisi yang mendadak terkenal hanya karena ia pura-pura menyanyi lagu India. Aku tertarik dan ingin membuat ayah terkenal seperti polisi itu. Aku lalu meminjam handphone tetanggaku yang ada kameranya dan merekam ayah saat menyampaikan ceramah agama malam itu.
Keesokan harinya aku meminta tetanggaku itu untuk memasukkan rekaman ayah ke dalam internet. Usaha isengku ternyata tidak sia-sia. Dua bulan kemudian, ada orang dari stasiun televisi dan membuat kontrak dengan ayahku untuk mengisi tayangan siraman rohani setiap malam. Setelah itu, kehidupanku sebagai seorang anak Ustaz Badut pun dimulai.
Ah, benarkah ia seorang ustaz? Ustaz yang suka melawak? Ustaz badut?
Cerpen Karangan: Nurul Handayani
Facebook: http://www.facebook.com/nh.dyni
mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

dikutip dari: cerpenmu.com

[Cerpen Bahasa Inggris] A Silent Woman

She walked amid the crowd of people who are in the market. It was seen there are some people who talk about the woman, one of them said, “Look at that woman, she’s white and beautiful but unfortunately he had an unhealthy body that is fat”. They laughed out loud when talking about the beautiful woman. On the other hand, the woman looks with confidence to walk and spread smiles to everyone around her. Due to the nature friendly and polite that she had, a lot of people who love and appreciate her. She’s also a very hardworking woman. When she went home, she was not to rest directly. She did other chores such as sweeping, mopping, washing dishes, washing clothes, and helped her mother to cook.
After completing the homework, time for her to relax while watching her favorite tv shows that is cartoon. Because the fun watching, she did not know that her mother called her to make tea. It made her upset, angry and approached Yuanita by saying, “You are already 25 years old, but you still watching a cartoon, until I called and you didn’t heard,” turning off the TV is being watched Yuanita. She just looked down and apologized to her mother. “You are already adult but you never willing to change your bad behaviour, well you have to make a tea for me now”, said her mother. Yuanita replied, “Yes Mom” ??as hse walked into the kitchen.
The incident made Yuanita sad and upset with her mother. Because she never gave enough time to watch her favorite cartoon. She then went to the room with a scowl, her friendly smile was gone instantly, and the tears wet in her white cheeks. In her grief, she recalled the same incident a few years ago. At that time, Yuanita already developing strategies to regulate some of the activities that should she do to be able to watch her favorite cartoon. All things already well at the begin. But when 30 minutes after the cartoon began, her mother told Yuanita to help her who was cooking. Yuanita which is cool to watch tv ignores her mother’s orders, because she had completed all homework which she is responsible. It made her angry and turned off the tv being watched Yuanita. She was forced to obey orders to help her mother cook in the kitchen. Because if not, she will get mad and totally forbidden to watch her favorite cartoon. The incident is still happening until now the cause Yuanita lamenting his bad luck. Just to watch the cartoon was difficult and full of struggle.
Christy was the younger sister Yuanita. She’s 5 years younger than her sister. She has a slender body where it is different from the body of her sister. Christy always get whatever she wants from her parents quickly and without the sacrifices. She also could do whatever she wanted without any restrictions whatsoever from her mother. Therefore, Yuanita felt that her mother treated her differently and unfairly. However, she just could silence her mother’s response to all treatments. Because she’s not chatty like her young sister who always say what she thinks. All the events that make Yuanita a quiet woman, aloof, and closed.
When Yuanita was study, she lived with his uncle. She is free from the shackles of her mother who always gave this command and that command. She can do whatever she wants. She was able to watch cartoon as much without her mother’s know. This she did about 4.5 years. In college, she began a relationship with a man, john, from other campuses are 1 year older than her. He has worked in a factory as a laborer. He has a very strong religious knowledge and understand the unseen. Because of his knowledge, he did bad things, witchcraft, against Yuanita and the purpose is to draining Yuanita’s family money. However, what John did, it is out of Yuanita’s know. Time after time, Yuanita’s money owned by john used up to pay the rent, pay for motorcycle loans, pay debts, and others. And she did not feel that strange things. Because Yuanita loved him, she did whatever John asked without her parent’s knowing it.
After graduating, she began working and living back with her mother. Over time, Miss Alya started treating Yuanita well. She could do anything and watch cartoon as much time not only at her uncle’s house but also her parents’ house. Yuanita very pleased with the change in attitude from her mother. However, hse still remains closed to her family especially Miss Alya.
After a while, Miss Alya is getting treated yuanita very well. She often buys gold jewelry to decorate Yuanita’s body to make it look more attractive and elegant. However, every time Miss Alya told Yuanita buy gold jewelry, gold jewelry as often as it is also missing. Yuanita always give the reason that gold jewelry is lost on the road when Miss Alya asked. She also often took the money without their parents’ knowing it. Because of these, Miss Alya started to suspect something was wrong with her ??son. She began to investigate how Yuanita’s life outside the home. Because of her perseverance, she can find out what happened to her son. Miss Alya told her son not to touch with John. Yuanita agreed and was not related to John at the time. But, a few days later her gold jewelry was missing again and make her mother angry and upset. So Miss Alya initiatives her son to go to the chaplain and the paranormal to heal her son. However, it can not change the bad habits of her who always took the money and gave her jewelry to John. Miss Alya was surrendered to sensitize heal of Yuanita that do not heal. Seeing that her mother was seriously ill, Yuanita realized and began to change her bad behaviour.
Several years later, Yuanita met a handsome man, a white, hard-working, and good. The man named Michael. Yuanita undemonstrative love him. After a long acquaintance, Michael apparently harbored the same taste with Yuanita. He was applying for and invite Yuanita to get married. They lives happy ever after.
Cerpen Karangan: Tri Septiarini
Facebook: fivers.rini@gmail.com/Tri Septiarini

dikutip dari: cerpenmu.com

Sabtu, 15 Juni 2013

[Cerpen Persahabatan] Diary Terakhir Ghina


Diary Terakhir Ghina
Matahari baru saja menampakkan cahayanya, kini Aku segera pergi mandi dan berangkat ke sekolah idaman di kotaku, MTsN 1 Karang Jati nama sekolahku. Setelah sampai di sekolah, Aku melihat seorang anak dengan jilbab putihnya yang anggun. Kau taukah siapa itu? yaapppss, itu Ghina, sahabatku sejak kecil. Mama dan Papa Ghina adalah Sahabat kedua orang tuaku. Aku mempunyai sebuah grup di sekolah, namanya Three GIN (Ghina, Icha dan Nanda)
Tetapi langkah ku terhenti saat melihat Ghina sedang bercanda dengan Audrey dan Iffy. Aku merasa marah dengan Ghina, tapi bagaimanapun dia tetap sahabatku. Akhirnya Aku berjalan dengan sangat cepat.
Ternyata Ghina melihat Aku yang berjalan dengan sangat cepat.
“Hei icha, kok kamu cepat banget sih jalannya?”, tanya Ghina. “Gak apa-apa kok, Cuma pengen cepat-cepat ke kelas aja”, jawabku. “Haha, ya sudah kita ke kelas yuk! Bentar lagi masuk loh”, ajak Ghina. “Iya, kok gak biasa banget Audrey sana Iffy deket sama kamu?”, tanya ku “Oh, mereka lagi nungguin Zulfa. Tadi pas aku mau menjemput kamu di gerbang, Aku bertemu dengan mereka.. Jadi Aku bercanda bersama mereka.. Kamu gak marah kan Cha?” “Hmm, ya sudah deh” jawab ku “Hahaiya, ya sudah masuk kelas yuk!” ajak Ghina “Oke”
Sesampai di kelas..
“Hello Ghina, Icha..”, sapa Nanda dengan senyum “Hello Nanda”, jawab Ghina “Hei, Ghina, Icha dan Nanda.. Segeralah duduk di bangku kalian masing-masing! Bu Ika sudah mau masuk tuh!”, perintah Zaki, Sang ketua kelas “Oke!”, jawab Kami bersamaan
Pada saat istirahat..
“Pesan minuman yuk cha! Aku traktir deh”, ajak Nanda “Makasih ya Nanda”, kataku dengan lembut
Sepulang sekolah…
“Ghin, Aku sama Nanda ke rumah kamu ya? Boleh gak?”, tanya Aku dengan penuh harap “Gimana ya? Terserah kalian aja cha..”, jawab Ghina “Kalo gak boleh, gak apa-apa kok”, kata Nanda, sambil tersenyum kecut “Aku boleh tanya gak Ghin?”, kataku “Iya, boleh kok. Mau tanya apa sih?”, jawab Ghina “Ghina, kok akhir-akhir ini Kamu berubah?”, tanya Aku “Aku gak berubah kok nan, cha.. Aku masih seperti yang dulu”, kata Ghina “Benar kata Icha, Ghin.. Kamu gak seperti yang dulu. Dulu kita selalu belajar dan bermain bersama, tetapi Kamu sekarang sudah menjauh dari Aku dan Icha.”, kata Nanda dengan ketus “Ih, Aku masih Ghina yang dulu. Kalian aja yang jarang bermain bersamaku. Jadi Aku bermain bersama Audrey dan Iffy”, bentak Ghina “Lagipula kalo kamu gak mau lagi berteman dengan Aku dan Icha, gak apa-apa kok Ghin. Kamu kan juga masih punya Audrey dan Iffy”, kata Nanda sambil marah “Tapi cha, da.. Aku berteman dengan Audrey dan Iffy itu Cuma kebetulan doang kok” kata Ghina “Iya sudahlah, Kita pulang aja ke rumah masing-masing”, ajakku
Ghina dan Nanda pun mengangguk setuju.
Esoknya, di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, Aku dan Nanda bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Zulfa
“Kita mau ke mana?”, tanya Iffy memotong pembicaraan.
“Bagaimana kalau kita pergi ke Pantai Alam, disana kan pemandangannya indah“, kata Ghina “Oke, Aku setuju dengan usul Ghina”, sambung ku “Baik, semuanya setuju kan kalo kita ke Pantai Alam?”, tanya Zaki “SETUJU!!!” jawab kami semua
Esoknya, Mereka bersiap-siap untuk pergi ke Pantai Alam..
“Semuanyaa! Ayo berbaris!! Kita akan segera menaiki mobil yang akan membawa kita ke Pantai Alam!”, perintah Zaki
Setelah sampai di Pantai Alam..
“Woww, pemandangannya sangat indah ya teman-teman”, kata Ghina “Menurutku tidak ada yang bagus disini, coba tadi kita pergi ke Danau Losari saja!!”, komentar Nanda “Hei, kemarin kan Aku sudah bertanya pada kalian. Siapa yang tidak setuju jika kita berlibur di Pantai Alam? Tetapi tidak ada yang menjawab”, kata Zaki dengan senyumnya yang pahit “Sudahlah, kita disini untuk bersenang-senang. Bukan untuk bertengkar!”, kata Audrey
Pada saat mereka berenang, Nanda menarik tangan Icha dan Ghina..
“Hei, apa maksud mu Nanda? Mengapa Kau menarik tanganku dan Ghina?” kataku tanpa senyum “Auww, sakit Nanda. Pelan-pelan donk!” kata Ghina “Aku hanya ingin memberi tau pada mu, Ghina! Sampai kapanpun Aku tidak akan pernah memaafkanmu!”, kata Nanda dengan bengis
Lalu Nanda pergi, Ghina pun segera mengikuti langkah Nanda dan ketika Ghina ingin menyebrang jalan, tiba-tiba ada motor yang berlaju dengan kecepatan tinggi. Dan Ghina pun di tabrak oleh seorang pengendara motor.
“GHINAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”, teriakku
Akhirnya Ghina pun di bawa kerumah sakit oleh Aku dan Nanda.
“Ini semua gara-gara Aku Cha, Kalau saja Aku tidak berlari, mungkin kejadiannya tidak begini”, kata Nanda sambil menahan air mata “Sudahlah Nanda, jangan sesali apa yang sudah terjadi. Karena tak ada gunanya menyesalkan semuanya.”, kata ku
Esoknya, Aku dan Nanda kembali menjenguk Ghina. Tetapi sesampai disana, Ghina belum juga sadar, Aku memegang tangannya dan memeriksa nadi nya, ternyata nadi nya sudah tak berdetak lagi.
“GHINAAA, bangun Ghin. Kamu harus sadar! Maafin Aku Ghin kalau Aku ada salah sama Kamu selama ini, Ghin bangun!!!”, kata Nanda sambil menangis “Ghin, maafin yaa kalau Aku selama ini terlalu kasar sama Kamu. Maaf Ghin”, kataku sambil menahan tangis
Tiba-tiba Mama dan Papa Ghina sudah pulang dari Singapura.
“Selamat Jalan Teman!”, kataku dan Nanda “Love you, GHINA”, kata Mama Ghina sambil menangis “Nanda dan Icha sudah baca belum tulisan Diary terakhir Ghina?”, tanya Papa Ghina “Belum om, Aku boleh lihat gak?”, jawab ku “Ya, tentu”, jawab Papa ghina
Ini tulisan terakhir Ghina di Diary kesayangannya
29 Juni 2012
Diary, hari ini aku merasa ada yang aneh. Aku berfirasat bahwa hari ini Aku akan pergi menghadap-Nya.. Jikalau hari ini Aku pergi. Aku ingin sekali Nanda dan Icha memaafkan ku. Aku sayang mereka?:” (Aku juga sayang Papa Mama dan Adikku. Tolong jaga mereka jika hari ini Aku memang harus meninggalkan mereka..
THREE GIN, FOREVER!
GHINA ALLYSA VALENCIA
LOVE NANDA DWI ANISA AND RISKA ALLYFA ZAHRA
Cerpen Karangan: Salwa Salsabila Rahman
Facebook: Salwa Salsabila Rahman

Fakta-fakta Unik pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Semua pasti sudah tahu dong kalo pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia telah membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun tidak banyak yang tahu kalo ada fakta-fakta unik dibalik peristiwa bersejarah itu. langsung saja ini dia. Check this out!






1. Soekarno Sakit Saat Proklamirkan Kemerdekaan

Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00 (2 jam sblm pembacaan teks Proklamasi), ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Saat itu, tepat di tengah2 bulan puasa Ramadhan.

‘Pating greges’, keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.

Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah. ‘Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!’, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya; masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…




2. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Dibuat Sangat Sederhana

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor, dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nanti selama lebih dari 300 tahun!


3. Bendera dari Seprai

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!




4. Akbar Tanjung Jadi Menteri Pertama “Orang Indonesia Asli”

Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar ‘orang Indonesia asli’. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. ‘Orang Indonesia asli’ pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan (1988-1993)


5. Kalimantan Dipimpin 3 Kepala Negara

Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).


6. Setting Revolusi di Indonesia Diangkat Ke Film

Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, ‘Tahun Vivere Perilocoso’ (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film – dalam bahasa Inggris; ‘The Year of Living Dangerously’. Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan Australia yg ditugaskan di Indonesia pada 1960-an, pada detik2 menjelang peristiwa berdarah th 1965. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!





7. Naskah Asli Proklamasi Ditemukan di Tempat Sampah

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.


8. Soekarno Memandikan Penumpang Pesawat dengan Air Seni

Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang.


9. Negatif Film Foto Kemerdekaan Disimpan Di Bawah Pohon

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?


10. Bung Hatta Berbohong Demi Proklamasi

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama ‘Abdullah, co-pilot’. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi.


dikutip dari Kaskus oleh suranibisa.blogspot.com

Sabtu, 08 Juni 2013

[Cerpen Horor] Horor Mencekam


cerpen ini adalah cerpen horor karangan Alfred Pandie, meskipin ga terlalu serem (menurut saya), tapi gapapalah, saya posting biar blog saya rame.

Horor Mencekam

Jam dinding berbunyi menunjuk 08:23 malam.
Kamis-22-2012.
Malam ini sepi tanpa suara tawa yang ingin ku dengar.
Hujan malam ini menyisahkan rintik yang sepenuhnya belum berakhir.
Suara musik dari tv sengaja ku kecilkan takut mengganggu tetangga sebelah yang cerewet.
Aku minum lagi kopi di gelasku,
Siaran tv yang membosankan dan tak menarik.
Orang tuaku sedang sibuk perang di kantor, benar-benar membuatku tak bersemangat menunggu mereka adalah hal paling menyebalkan
Terpaksa aku sendiri di rumah memandang langit kosong,
Semuanya membuatku tak berselera untuk beraktivitas
Sebuah suara orang bernyanyi dari arah gudang di ruang atas.
Suaranya pelan. Parau dan serak, tapi terdengar jelas.
“lingsir wengi sliramu…
Tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro aku lagi bang wingo…
Wingojin setan kang tak utusi dadyo…
Sebarang wojo lelayu sebet…”
Suara nyanyi dengan nada pelan seperti sinden. Tapi sangat lembut.
Aku meraih senter di atas meja tv.
Berjalan menyusuri tangga dan aku telah berdiri di depan gudang asal sumber suara.
Gudang ini adalah barang penyimpanan barang rongsokan yang masih layak pakai, sudah lama tidak ada yang mau membersihkannya. Sehingga jaring laba_laba dan debunya dapat membuat flu mendadak.
Aku menempelkan kupingku ke pintu, dan menutup mata mencoba merasakan suara dari dalamnya.
Suara nyanyinya makin jelas terdengar.
“lingsir wengi sliramu…
Tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro aku lagi bang wingo…
Wingojin setan kang tak utusi dadyo…
Sebarang wojo lelayu sebet…”
Suara yang sepertinya pernah ku dengar di sebuah film, tapi entah dimana sungguh aku ingat,
Sepertinya seorang wanita, mungkin 20 tahun ke atas, karena suaranya lembut sekali meski pelan. Dan saat mendengarnya aku seperti terhipnotis untuk bernyanyi mengikutinya, dan tubuhku bergerak mulai menari dengan sendirinya.
Aku tersadar saat dari arah ruang bawah suara orang memanggil namaku
Di ikuti nyanyian yang hilang sekejap. Dan itu seperti ayahku dan ibuku yang baru pulang dari kantor,
Aku berlari menuruni tangga dan membuka pintu.
Aku terdiam sejenak, orang tua yang ingin ku lihat tak ada.. “lalu siapa yang memanggilku!!”
Aku hendak menutup pintu namun sebuah foto, dan kado kotak biru di hiasi pita di lantai menarik perhatianku
Aku membungkuk meraihnya.
Pada saat aku mengangkat kepalaku,
Sesosok wajah muncul dengan wajah ke bawah seperti merangkak di atas pintu,
Aku mencoba menarik napas dan ku paksakan melihat sosok itu.
Namun sosok itu tak ada.
“mungkin itu hanya halusinasiku, pikirku memungut foto dan kado sambil menutup pintu dan kembali ke dalam”.
Aku merebahkan diriku di sofa dan melihat foto di tanganku.
Aku membolak-balikannya karena tak ada gambar, hanya gambar putih kosong. Aku mngambil kaca pembesar dan aku dapat melihat sebuah bayangan wanita sedang menggendong anaknya meski tak nampak jelas karena cahaya.
Aku tersentak melempar foto itu saat dengan jelas ku lihat darah menyembur dari matanya di ikuti tawanya. Aku mengucek mata memastikan ini tidak nyata.
Aku meraih kado dan menemukan beberapa barang.
Silet, gunting, sebuah bunga mawar merah dan sebuah kertas dengan tulisan yang tak karuan.
“a.. Ku… Dat.. Ang me.. Nje.. Mputmu anak.. Ku…”
*wasti”.
“siapa wasti, namanya terasa asing bagiku, tapi foto ini sepertinya pernah ku lihat tapi entah di mana?”
Aku meringis tersentak kaget saat duri mawar menusuk jariku.
Darah menetes kencang
Aku berlari ke kamar mandi dan mencuci darah tanganku, belum sempat ku nyalakan kran air.
Terdengar nyanyian dari dalam pintu wc yang terletak beberapa meter dariku.
Aku mengangkat wajahku panik setengah mati. Saat wajahku berubah jadi seorang wanita lain saat ku melihat cermin. Aku melihat lagi untuk memastikan ternyata bayangan itu hilang.
Aku berjalan perlahan mendengarkan kembali suara nyanyian yang kadang meninggi dan perlahan kembali dari dalam wc.
Suaranya persis sinden.. Lembut dan serak membuatku terhipnotis untuk mengikuti lagu itu dan kepalaku terasa berat.
Tanganku bergerak sendiri menari-nari bergerak kesana sini tanpa sebab.
Sampai suara itu berhenti dan menghilang.
Kaki ku rasanya sakit sekali. Entah sudah berapa jam aku menari dengan lagu itu, yang membuatku tak bisa berhenti untuk menari karena di ulang terus menerus.
Aku berjalan pelan luka di tanganku hilang.
Foto, silet dan selembar kertas serta gunting, bunga mawar masih berserakan di atas sofa.
Tapi di sengaja atau tidak gelas yang sebelumnyaa di atas meja jatuh berantakan di atas lantai.
Yang jelas aku tak ingat menjatuhkannya, lalu siapa?
Aku duduk lemas dan meraih serta menyalahkn laptop di atas meja kerjaku
Ku mencari artikel mengenai lagu yang membuatku tak sadar untuk menari.
Beberapa saat lagu yang ku maksud berhasil ku dapat
“lingsir wengi sliramu…
Tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro aku lagi bang wingo…
Wingojin setan kang tak utusi dadyo…
Sebarang wojo lelayu sebet…”
Aku kaget sekali melihat apa yang tertera di layar.
“ini bukannya lagu pemanggil setan!! Lalu siapa yang menyanyikannya dari gudang dan juga wc?
Belum habis rasa penasaranku.
Lagu itu terdengar dari balik sofa,
Aku bisa merasakan dingin yang tiba-tiba menusuk merasuk ku hebat. Aku tak bisa berkata selain merasakan setiap detik yang terjadi padaku. Aku seperti membeku.
Aku bangkit berdiri menari serta bernyanyi dengan sendirinya. Sungguh di luar kehendak dan nalarku.
Sesosok wanita tiba-tiba muncul berlahan-lahan dari balik sofa dengan tubuh bergetar, rambutnya lurus sampai pinggang, matanya melotot keluar, dari mulutnya darah menetes dan aroma bau busuk mulai mengusik pikiranku.
Sebuah tangan menjalar dari kaki perlahan-lahan merambat di seluruh tubuhku.
Aku bisa merasakan nafasnya berhembus di kupingku.. Sentuhan dingin itu
Kaki ku terasa berat, jantungku memompa semakin kencang.
Lampu mulai berkelap kelip tak menentu. Di ikuti lagu yang inginku hentikann secepat mungkin.
“lingsir wengi sliramu…
Tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro aku lagi bang wingo…
Wingojin setan kang tak utusi dadyo…
Sebarang wojo lelayu sebet…”
Ia bernyanyi membuat
Mataku berkunang-kunang dan tubuhku terasa berat untuk bergerak.
Aku tak ingat apa-apa lagi selain terbangun dengan tubuh kedinginan di lantai. Di ikuti kepalaku yangg pusing dan berat.
Ayah dan ibuku sedang duduk di dekat tv. Tertawa dan bercanda ria. Entah sejak kapan mereka datang,
Aku mendekati dan bertanya tentang apa yang baru saja ku alami.
Tapi mereka terlihat aneh. Atau mungkin aku yang aneh?
Mereka tersenyum dengan tanpa ekspresi. Seperti mengangap aku tak ada, menyapaku pun tidak.
Mereka menatap dengan tatapan kosong, ibuku mengalihkan pandangan dan berlalu ke belakang.
Ayahku menatapku dan bercerita dengan keringat mengalir di tubuhnya.
“apa kamu yakin dengan apa yang kamu lihat, mungkin itu arwah wasti. Kejadiannya 25 tahun yang lalu. Dia seorang sinden, cantik dan lembut tutur katanya. Aku jatuh cinta padanya dan itu terjadi sebelum aku mengenal ibumu sekarang. Tahukah kamu siapa ibumu yang sebenarnya. Dia adalah wasti. Bukan ibumu yang sekarang, dia adalah iblis dia telah membunuh wasti dan memutilasinya, aku hanya membantunya karena waktu itu aku tak tahu lagi harus bagaimana, tubuhnya di potong dengan di silet dan di gunting lalu di buang.. Tubuhnya bersemayam di gudang itu dalam sebuah peti oleh formalin.. Ak…? Ayahku berhenti, tidak melanjutkan ceritanya”
Sebuah telpon mengalihkan ceritanya.
Aku bangkit mengangkat telepon.
“halo dengan siapa saya bicara? Kataku”.
Aku terdiam terpaku, sebuah hal yang tak mungkin, aku di suruh ke rumah sakit karena orang tuaku mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Aku langsung melihat ayah yang sedang duduk di sofa, tidak ada apapun selain silet, gunting, kertas dan kotak merah yang memang berantakan.
Lalu siapa yang berbicara denganku barusan?
Aku makin takut menjatuhkan gagang teleponku saat suara nyanyian yang tak asing ku dengar menggema di belakangku,
“lingsir wengi sliramu…
Tumeking sirno…
Ojo tangi nggonmu guling…
Awas jo ngetoro aku lagi bang wingo…
Wingojin setan kang tak utusi dadyo…
Sebarang wojo lelayu sebet…”
Wanita yang ku lihat di foto, sama seperti yang di ceritakan ayahku barusan. “wasti?… Ibuku…” sedang
Bernyanyi dengan merdunya, perlahan-lahan memaksaku. Perlahan menggerakan tubuhku,
Logika ku berpikir dan sebisa mungkin untuk bertahan,
Wanita itu makin bernyanyi kencang, air mataku serasa berubah jadi darah dengan urat wajah yang keluar.
Membuat seluruh tubuhku lemah tak berdaya, silet dan gunting melayang dengan sendirinya.
Silet menyayat-nyayat tanganku dengan cepatnya, gunting menusuk pahaku beberapa kali. Rasa ngilu yang teramat sangat menjalar dan darah mengalir membasahi lantai dari tubuh. Aku seperti boneka.
Kesadaranku masih pulih,
Aku berlari menyeret kaki ku pelan. Berlari meraih korek dan membakar foto di meja, serta kertas dan kado.
Sang wanita yang bernama wasti, yang tak lain ternyata ibuku, melotot dan berteriak hilang di gelap malam.
Aku terjatuh menahan tubuhku yang tersayat perih. Dan pandanganku hilang
Aku mnghadiri pemakaman orang tuaku dan berlalu dengan borgol di tanganku. Aku menjadi saksi atas meninggalnya orang tuaku.
Orang-orang mengiraku gila dan memasukanku ke rumah sakit jiwa karena tuduhan kematian orang tuaku terhadapku,
Namun ku di bebaskan setelah apa yang ku ceritakan benar adanya.
Di sebuah peti pakaian di gudang, tubuh wasti tertumpuk. Telah mngeras bagai kayu oleh karena formalin.
Yang ku tahu sampai aku menyelesaikan kisah ini. Aku masih hidup setelah malam penuh teror yang membuatku hampir gila.
Tamat
Cerpen Karangan: Alfred Pandie
Facebook: alfredpandie@yahoo.com
Pengen suatu saat bisa buat novel.