“Ayah lucu kayak badut!” ujar adikku yang terkecil.
Sakit hatiku mendengar kalimat itu meluncur deras dari bibir mungil adik bungsuku yang belum mengerti apa-apa.
“Bagaimana kalau kita panggil saja ustaz badut!” teriak salah seorang anak yang duduk di pojok.
Warga kampung lain yang berkumpul di ruangan sempit ini tertawa
terbahak-bahak. Seperti itukah pandangan mereka terhadap ayahku? Aku
malu. Harusnya ayah tak melakukan semua ini. Cukup jadi seperti ayah
yang dulu, aku bahagia.
Aku meninggalkan para tetanggaku yang masih asyik menyaksikan
tayangan siraman rohani di televisi. Televisi ini baru datang ke rumahku
tadi siang. Orang yang mengantarkannya bilang televisi tersebut kiriman
dari ayah di kota. Di kampung ini, televisi memang masih menjadi barang
mewah. Orang yang memilikinya dapat di hitung dengan jari. Oleh karena
itulah, setelah mengetahui ada TV di rumahku, para tetangga datang
berbondong-bondong untuk menonton bersama.
Sejak ada TV, rumahku selalu ramai setiap malam karena para tetangga
sangat senang menyaksikan ayah yang berceramah di TV. Namun di siang
hari, rumahku kembali sepi. Aku membiarkan mereka begitu saja datang dan
pergi sesuka hati mereka. Aku bahkan tidak peduli jika mereka ingin
membawa TV itu pergi.
—
Aku bergeming dalam diamku. Sudah dua hari ini aku tidak keluar kamar
kecuali untuk hal-hal penting saja. Setelah mendengar bahwa ia akan
pulang aku jadi tidak berselera melakukan apa pun lagi. Untuk apa dia
pulang? Umpatku dalam hati. Aku bahkan tak sudi untuk menyambutnya.
Semua orang sibuk menata rumah sedemikian rupa hanya untuk menyambut
kedatangannya. Para tetangga seolah tak ada yang mau ketinggalan
menyumbang jejak kaki mereka di rumah ini. Rumahku siang hari ini
mendadak ramai seperti pasar tradisional yang baru buka.
Keesokan harinya, kampung ini benar-benar ramai, lebih ramai dari
upacara penyambutan kepala desa yang baru menjabat bahkan dari acara
pernikahan putri Pak Kades dulu. Ibu-ibu memakai kebaya terbaiknya yang
di setrika licin. Para pria tampak gagah dengan batiknya dan rambut
mengilap karena kelebihan olesan minyak jelantah. Aku sendiri tidak tahu
sejak kapan bapak-bapak di kampung ini punya baju batik. Aku juga baru
tahu bahwa para pemuda dan pemudi kampung ini juga bisa berdandan dengan
rapi. Anak-anak kecil nampak riang berkejaran dengan kawan
sepermainannya. Mereka berlari, berteriak dan menjerit bahkan ada yang
menangis karena pakaian yang baru dibelikan ibunya kotor terinjak-injak
anak lainnya. Pokoknya keceriaaan mereka hari ini melebihi susana
gembira menyambut hari raya.
Kalian tahu siapa yang sedang mereka nanti-nantikan? Bukan sang
presiden atau para menteri yang mereka tunggu-tunggu. Kalian tahu
sendiri kan bahwa ini bukanlah masa-masa kampanye. Pemilihan umum masih
jauh di depan mata. Jadi, tidak mungkin ada kunjungan semacam itu. Aku
tidak yakin jika kalian akan percaya jika kuberitahu siapa yang sedang
mereka tunggu. Aku juga sebenarnya malas untuk memberitahu kalian
mengenai hal ini. Ayahku. Ya, mereka sedang menunggu si Ustaz Badut itu.
Sekali lagi aku tegaskan bahwa mereka hanya menunggu seorang petani
yang sedang naik daun karena dakwah guyonannya. Ah, memang apa gunanya?
—
Selepas upacara penyambutan dan ramah tamah dengan warga kampung,
ayah masuk ke kamarku. Nampak kelelahan tergambar di antara
kerutan-kerutan di keningnya. Tapi aku sudah tak peduli.
“Ri, kok orang-orang manggil ayahmu ini Ustaz Badut ya? Lucu sekali, ayah jadi ingin tertawa,” ujarnya memulai pembicaraan.
Entah sengaja atau ia memang benar-benar tidak tahu, ia sungguh
membuka pembicaraan ini dengan kalimat yang salah. Ia menyebut dua kata
itu: Ustaz Badut. Dua kata yang paling ku benci sebagaimana aku membenci
orang yang mendapat julukan itu.
“Lucu? Tertawa saja jika itu memang lucu bagi ayah!” Teriakku sinis.
Ayahku nampak kaget dengan sikap ketusku. Ia terdiam. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menumpahkan semua kekesalanku.
“Kau bukan ayahku. Ayahku tidak seperti ini. Ayahku adalah lelaki
sederhana yang selalu melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Ayahku
adalah guru bagiku dan guru bagi semua anak kecil di kampung ini. Ayahku
adalah yang mengajar alif ba ta dengan sabar tanpa pamrih. Ayahku
adalah petani yang tak pernah mengeluh meski bekerja di bawah terik
matahari. Ayahku tak pernah rela menjual agamanya demi uang. Dulu aku
bangga dengan ayah, tapi sekarang? Hhh, aku kecewa,” ujarku sinis.
Ayahku tetap membisu. Rupanya ia masih menunggu kata-kata berikutnya
dari mulutku. Ayah mengambil tempat di sisiku. Ia memandangiku cukup
lama sebelum akhirnya berbicara.
“Ayah tahu, tak ada alasan kuat ayah membela diri. Tapi kau tahu kan
masyarakat kita sudah bosan dengan ceramah yang disampaikan oleh para
ustaz yang intelek dengan titel mereka yang macam-macam itu. Lihatlah
tetangga kita! Kau tahu sendiri mereka mulai memilih-milih siapa yang
menyampaikan ceramah saat ada rencana pengajian. Mereka akan mencari
tahu dulu siapa yang akan memberikan ceramah. Jika penceramah adalah
kiai atau ustaz yang serius, maka majlis akan kosong melompong.
Sedangkan jika si ustaz itu menyampaikan ilmu agama sambil menyisipkan
lelucon mereka akan lebih tertarik sekalipun ustaz itu hanyalah orang
kampung seperti ayah.” Ujar ayah memberiku penjelasan.
Aku tetap tak bisa terima dengan alasan ayah tersebut. Bagaimana pun
juga ayah telah membuatku malu dengan julukan sebagai anak dari Ustaz
Badut.
“Oh, jadi ayah pikir mereka hanya akan mengaji jika para ustaz yang
senang membuat guyonan seperti ayah yang mengajari mereka. Begitu? Ayah
benar-benar telah berubah. Aku kecewa pada ayah!”
Sekali lagi kata ‘kecewa’ itu meluncur dari mulutku. Wajah ayahku
tertunduk lemas. Desisan lemah dari bibir hitamnya terdengar samar. Aku
benar-benar marah hingga tak bisa menahan emosi. Namun aku enggan
mengakui bahwa kali ini aku benar-benar telah kelewatan.
—
Sudah seminggu ini ayah tinggal di rumah dan selama itu pula aku
menahan mulutku untuk diam. Satu-satunya pembicaraanku dengannya hanya
pada hari itu, dan saat itu pun aku tak bisa mengontrol kata-kataku.
Lagipula aku pikir ayah lebih sibuk mengurusi tamu-tamunya. Bagaimana
tidak sibuk? Sepanjang hari, siang dan malam, orang-orang terus
berdatangan hanya untuk bertemu dengannya dan menyalami bahkan mencium
tangan buruhnya yang kasar.
Sore ini ia akan kembali ke kota. Aku sangat bahagia mengetahui kabar
tersebut. Di saat keberangkatannya, aku tidak berminat untuk
mengantarnya meskipun hanya sampai pintu. Aku bersikap seolah-olah hal
tersebut bukanlah hal yang penting. Bodo amat! Toh di luar sana sudah
banyak orang yang mengantarkannya dan mengelu-elukan namanya. Aku hanya
menatap kepergian lelaki itu, sang Ustaz Badut, dari balik jendela
kamarku dengan senyuman sinis. Ku lihat ia merangkul adik-adikku yang
asyik mengunyah gula-gula.
Selepas kepergiannya, aku keluar kamar untuk menyiapkan makan siang
bagi adik-adiku. Di atas meja makan, aku melihat selembar kertas
tergeletak. Ternyata sebuah surat. Untukku. Aku mengambilnya dan mulai
membacanya.
…
Teruntuk anakku tercinta,
Maafkan ayah, Nak. Maaf karena ayah telah membuatmu kecewa. Ayah pikir
semua yang ayah lakukan ini semua akan membuatmu bahagia dan bangga pada
ayah. Percayalah, ayahmu ini tak pernah berniat menjual agamanya. Ayah
masih seperti ayahmu yang dulu. Sekali lagi ayah mohon percayalah! Namun
sungguh ayah tak bisa berhenti. Sekali lagi kau harus percaya, ini
bukan karena harta maupun ketenaran. Ayah tak butuh ketenaran dan ayah
juga selama ini telah memiliki harta yang paling berharga: kau dan
adik-adikmu.
Ayah mengerti jika kau memang tak bisa menerima ayah seperti dulu
lagi. Ayah tetap bangga memiliki anak sepertimu. Hari ini ayah pergi,
karena ayah pikir ayah hanya akan membuatmu bersedih kecewa, dan marah
jika ayah terus berada di sampingmu. Sejujurnya, berat bagi ayah untuk
jauh dari kalian, kau dan adik-adikmu, apalagi saat ayah tahu bahwa apa
yang ayah lakukan ini telah mengecewakanmu. Ingatlah, ayah akan pulang
kapan pun kau butuh ayah.
…
Bodoh! Mengapa aku harus menyalahkan ayah dan membencinya? Siapa yang
membuatnya menjadi seperti ini? Aku mulai tersadar akan awal mula dari
semua ini.
Suatu malam ayah di undang oleh Pak Kades untuk menyampaikan ceramah
dalam acara selamatan pernikahan putri sulungnya. Dulu aku sangat senang
melihat ayah saat menyampaikan ceramah agama. Saat itu aku baru saja
melihat tayangan seorang polisi yang mendadak terkenal hanya karena ia
pura-pura menyanyi lagu India. Aku tertarik dan ingin membuat ayah
terkenal seperti polisi itu. Aku lalu meminjam handphone tetanggaku yang
ada kameranya dan merekam ayah saat menyampaikan ceramah agama malam
itu.
Keesokan harinya aku meminta tetanggaku itu untuk memasukkan rekaman
ayah ke dalam internet. Usaha isengku ternyata tidak sia-sia. Dua bulan
kemudian, ada orang dari stasiun televisi dan membuat kontrak dengan
ayahku untuk mengisi tayangan siraman rohani setiap malam. Setelah itu,
kehidupanku sebagai seorang anak Ustaz Badut pun dimulai.
Ah, benarkah ia seorang ustaz? Ustaz yang suka melawak? Ustaz badut?
Cerpen Karangan: Nurul Handayani
Facebook: http://www.facebook.com/nh.dyni
mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dikutip dari: cerpenmu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik adalah pengunjung yang mau berkomentar. Setiap komentar/kritik akan selalu saya jadikan masukan untuk postingan yang lebih baik ke depannya.